Selasa, Maret 17, 2009

Tradisi Miyos Gongso dan Riwayat Keramaian Sekaten

Perayaan Sekaten di Keraton Kasultanan Yogyakarta dilangsungkan setiap tahun pada tanggal 5 hingga 11 bulan Maulud tahun Jawa atau bulan Rabi’ul Awal dalam kalender Islam. Rangkaian Perayaan Sekaten dimulai dengan tradisi Miyos Gongso, yaitu prosesi dikeluarkannya sepasang Gamelan Pusaka Sekaten dari bangsal penyimpanannya di dalam Keraton, menuju Masjid Gedhe di sebelah barat Alun-alun. Upacara ini diselenggarakan selepas Sholat Isya’, pada malam hari menjelang tanggal 6 Maulud.

Kedua perangkat gamelan ini sudah mulai diperdengarkan menjelang dimulainya tradisi Miyos Gongso. Pada jaman dahulu saat berlangsungnya tradisi ini, seperangkat gamelan ditempatkan di Bangsal Trajumas dan seperangkat lainnya ditempatkan di Bangsal Sri Manganti. Namun pada jaman sekarang, keduanya ditempatkan di Bangsal Ponconiti di halaman Kemandhungan Lor atau biasa disebut halaman Keben. Dari sinilah rangkaian tradisi Miyos Gongso dilangsungkan, sebagai penanda resmi dimulainya Perayaan Sekaten.

Prosesi Miyos Gongso dimulai sekitar pukul 8 malam, diawali dengan tradisi nyebar udhik-udhik. Ini adalah sebuah tradisi dimana Sultan memerintahkan Pangeran atau rayi dalem yang menjadi utusannya untuk membagi-bagikan sedekah kepada masyarakat yang hadir di Bangsal Ponconiti, serta para abdi dalem Wiyogo yang bertugas menabuh kedua Gamelan Pusaka. Sedekah udhik-udhik yang terdiri dari uang logam, beras kuning dan bebungaan ini, selalu mendapatkan sambutan antusias dari semua yang hadir, karena diyakini akan memberikan tuah dan berkah untuk keselamatan dan kesejahteraan.

Setelah selesainya tradisi nyebar udhik-udhik, Kedua Gamelan Pusaka terus diperdengarkan, sambil menunggu tengah malam, dimana keduanya akan dipindahkan menuju Masjid Gedhe.

Konon, sejarah Keramaian Sekaten sudah ada sebelum Kasultanan Demak berdiri pada abad ke-15. Pada masa Kerajaan Majapahit masih berkuasa, Kadipaten Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, setiap tahun menjadi tempat musyawarah para pemuka agama Islam di Pulau Jawa, yang dikenal dengan nama Walisanga. Pertemuan para wali berlangsung selama sepekan pada bulan Rabi’ulawal, yang diakhiri pada tanggal 12, bersamaan dengan perayaan untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi wa Sallam. Untuk memperkuat syiar Agama Islam, pada tahun 1399 Saka, Raden Patah bersama para wali membangun Masjid Agung di Kadipaten Demak. Di masjid inilah dipusatkan tradisi musyawarah tahunan para wali, sekaligus keramaian untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang diisi dengan kegiatan syiar Agama Islam.

Para wali menyadari jika rakyat yang masih memegang erat kepercayaan lama, sangat sulit dipengaruhi dan diajak memeluk Agama Islam. Singkat cerita, musyawarah para wali pun bersepakat untuk melakukan strategi budaya. Berbagai tradisi lama akan terus dilestarikan, namun diberi warna dan sentuhan spiritual sesuai dengan ajaran Agama Islam.

Kebetulan, rakyat Majapahit juga mewarisi tradisi keramaian tahunan. Pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V, tradisi tahunan ini selalu diramaikan dengan diperdengarkannya Gamelan Pusaka bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima, yang dipandang sangat keramat dan memberkati. Setiap keramaian yang disertai irama gamelan seperti ini, akan sangat menarik perhatian rakyat untuk hadir.

Oleh karenanya, untuk menarik perhatian rakyat agar mau hadir dan masuk ke Masjid Agung, Sunan Kalijaga mengusulkan agar diperdengarkan bebunyian gamelan di halaman masjid. Sementara pada saat yang sama, para wali melakukan dakwah langsung kepada rakyat. Meski secara hukum memperdengarkan gamelan di lingkungan masjid dianggap makruh, namun demi kelancaran syiar Agama Islam, para Wali menyetujui gagasan ini. Sunan Kalijaga yang sangat memahami budaya Jawa, kemudian menciptakan seperangkat gamelan yang diberi nama Kyai Sekati. Sementara gendhing-gendhing yang akan diperdengarkan, diciptakan bersama antara Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri dan Sunan Kudus.

Gamelan Kyai Sekati ditabuh sedemikian rupa, menggema dengan irama yang indah dan membahagiakan hati, sehingga berhasil menarik perhatian rakyat di seputar Demak. Mereka datang berduyun-duyun dari berbagai penjuru, memadati Alun-alun di muka Masjid Agung. Sementara itu, para Wali silih berganti tampil pada mimbar dimuka gapura masjid, menyampaikan wejangan dan ajaran-ajaran Agama Islam dengan gaya bahasa yang memikat.

Pendekatan budaya ini ternyata membuahkan hasil. Rakyat begitu terhibur di tengah alunan gamelan, sekaligus tertarik dengan petuah-petuah Islami yang disampaikan oleh para Wali. Pada saat yang sama, mereka yang tertarik memeluk Agama Islam, diperkenan masuk ke Serambi Masjid. Setelah bersuci sesuai tatacara Islam, mereka kemudian mengucapkan 2 kalimat kesaksian yang disebut Syahadatain.

Lafal Syahadat pertama yang disebut Syahadat Tauhid, berbunyi “Asyhadu Alla Ilaaha Illallah“, menjadi kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak dan patut disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan lafal syahadat kedua disebut Syahadat Rasul, berbunyi “wa Asyhadu Anna Mu-hammadar Rasuulullah“, menjadi kesaksian dan pengakuan bahwa Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Rasul utusan Allah.

Selama sepekan berlangsungnya keramaian ini, banyak rakyat secara sukarela masuk Agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat. Kepada mereka yang telah masuk Islam, kemudian dilakukan upacara khitanan. Demikianlah, keramaian inipun kemudian resmi menjadi upacara tahunan kerajaan, dan kemudian diberi nama Sekaten. Asal kata nama ini, bisa jadi berasal dari nama Gamelan Kyai Sekati, atau berasal dari kata “Syahadatain“.

Gendhing-gendhing Sekaten yang sering dipergunakan sejak jaman Kerajaan Islam Demak ada 16 macam. Nama-nama gendhing Sekaten itu adalah : Rambo – Patet Lima; Rangkung – Patet Lima; Lung Gadung – Pelog Patet Lima; Atur-atur – Patet Enem; Andong-andong – Patet Lima; Rendeng – Patet Lima; Yaumi – Patet Lima; Gliyung – Patet Enem; Salatun – Patet Enem; Dindang Sabinah – Patet Enem; Muru Putih – Patet Enem; Orang-aring – Patet Enem; Ngajatun – Patet Enem; Bayem Tur – Patet Enem; Supiatun – Patet Barang; dan Srundeng Gosong – Pelog Patet Barang.

Tradisi Miyos Gongso dan Riwayat Gamelan Sekaten

Menjelang tengah malam, kedua perangkat Gamelan Pusaka Sekaten, Kyai Gunturmadu dan Kyai Nogowilogo mulai dipersiapkan untuk selanjutnya dipindahkan menuju Pagongan di Masjid Gedhe. Prosesi pemindahan dikawal oleh 2 bregada prajurit Keraton, yaitu Bregada Prajurit Mantrijero dan Bregada Prajurit Patangpuluh, para Panji dari semua bregada prajurit Keraton, serta sejumlah abdi dalem setingkat Bupati, baik abdi dalem Keprajan maupun abdi dalem Punokawan.

Tepat pukul 11 malam, iring-iringan Kirab Miyos Gongso dimulai dalam suasana khidmat, dari pintu gerbang atau Regol Brojonolo, keluar dari lingkungan Keraton menuju Masjid Gedhe, melalui Supit Urang, Sitihinggil, Pagelaran dan Alun-alun. Sebelum mencapai 2 pohon beringin kurung di tengah Alun-alun, iring-iringan akan membelok ke barat, langsung menuju Regol Masjid Gedhe.

Keberadaan kedua perangkat Gamelan Pusaka Sekaten, Kyai Gunturmadu dan Kyai Nogowilogo, tidak terlepas dari sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah, sejak jaman Kasultanan Demak hingga berdirinya Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Pada sekitar tahun 1400 Saka, Kerajaan Majapahit jatuh akibat serangan balatentara Demak di bawah pimpinan Raden Patah. Tiga tahun kemudian, pada Tahun 1403 Saka, berdirilah Kasultanan Demak. Raden Patah bertahta dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar.

Sebagai pusat kekuasaan baru, Kasultanan Demak mewarisi sisa-sisa kekayaan Majapahit, termasuk Gamelan Pusaka Kyai Sekar Delima. Gamelan Pusaka ini kemudian dipergunakan untuk melengkapi Gamelan Sekaten. Sejak saat itulah terdapat sepasang Gamelan Pusaka Sekaten. Satu perangkat diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga yang bernama Kyai Sekati. Satu perangkat lagi merupakan warisan Kerajaan Majapahit, yang kemudian diberi nama Nyai Sekati. Kedua perangkat gamelan Pusaka inilah yang selalu diperdengarkan dalam keramaian Sekaten.

Seiring dengan jatuh dan berdirinya pusat-pusat kekuasaan di Jawa, tradisi Sekaten beserta kedua perangkat gamelannya juga menjadi pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. Sejak keruntuhan Kasultanan Demak, tradisi ini diwarisi oleh Kasultanan Pajang, dan dilanjutkan oleh Dinasti Mataram Islam sejak jaman Kotagede, Kerta, Plered, hingga Kartasura dan Surakarta.

Pasca peristiwa Palihan Nagari pada tahun 1755 yang membagi Dinasti Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, sebagaimana wilayah-wilayah kekuasaan, pusaka-pusaka pun kemudian dibagi dua untuk masing-masing Keraton. Termasuk Gamelan Pusaka Sekaten yang merupakan warisan jaman Kasultanan Demak.

Kasunanan Surakarta mewarisi Gamelan Pusaka Kyai Sekati, sementara Gamelan Pusaka Nyai Sekati diwarisi oleh Kasultanan Yogyakarta. Mengingat Gamelan Pusaka Sekaten bersifat sepasang, maka masing-masing Keraton kemudian mutrani atau membuat duplikat Gamelan Pusaka yang tidak dimilikinya. Dengan demikian, maka Keraton Kasultanan Yogyakarta kemudian memiliki sepasang Gamelan Pusaka Sekaten, yaitu Nyai Sekati dan duplikat Kyai Sekati. Pasangan gamelan yang disempurnakan kembali pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono I itu, kemudian diberi nama baru. Gamelan Pusaka Nyai Sekati diberi nama baru Kyai Gunturmadu, sementara duplikat Gamelan Pusaka Kyai Sekati diberi nama Kyai Nogowilogo. Gunturmadu mengandung arti “turunnya anugerah“, sedangkan Nogowilogo memiliki makna “ kemenangan perang yang lestari”.

Sementara itu di sekitar Masjid Gedhe, meski dalam suasana gerimis, ribuan masyarakat telah menanti kedatangan iring-iringan Kirab Miyos Gongso. Dan menjelang tengah malam, kedua perangkat Gamelan Pusaka Sekaten sampai di pintu gerbang atau Regol Masjid Gedhe. Setelah dilakukan upacara serah terima, bersama seluruh pengiringnya, kedua perangkat Gamelan Pusaka Sekaten langsung dibawa menuju Pagongan.

Bregada Prajurit Mantrijero, mengawal Gamelan Pusaka Kyai Gunturmadu menuju Pagongan di sebelah selatan. Sementara Bregada Prajurit Patangpuluh, mengawal Gamelan Pusaka Kyai Nogowilogo menuju Pagongan di sebelah Utara.

Pagongan adalah sebuah bangunan berbentuk panggung, yang secara khusus dipergunakan untuk menempatkan sekaligus memperdengarkan Gamelan Pusaka Sekaten pada setiap bulan Maulud. Sebagaimana Gamelan Pusaka Sekaten, bangunan Pagongan juga berjumlah sepasang, yang terletak di halaman depan Masjid Gedhe, pada sisi utara dan selatan. Gamelan Pusaka Kyai Gunturmadu selalu ditempatkan di Pagongan sebelah selatan, sementara Gamelan Pusaka Kyai Nogowilogo ditempatkan di Pagongan sebelah utara.

Di kedua bangunan Pagongan ini, kedua perangkat Gamelan Pusaka tersebut akan diperdengarkan terus-menerus setiap hari selama sepekan, kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam Jum’at sampai dengan setelah Sholat Jum’at.